PARANARASI KESATU ; BERTUKAR PESAN, JATUH CINTA LALU SALING MENGIKHLASKAN
Jakarta, Desember 22, 2015
Sejak kita saling bertukar pesan, sampai jatuh
cinta tanpa mengungkapkan
6 Tahun lalu, pertemuan pertama kita terjadi, dibalut dengan
gedung yang menjulang tinggi dan satu kolam renang yang penuh dengan
orang-orang. Kita sebelumnya memang saling mengenal, namun hanya sebatas
bertukar pesan ataupun via panggilan telepon, namun itulah pertemuan yang
nyata. Kita hanya berdiam diri saja, lalu kita bercerita bagaimana bisa kita
bisa bertemu di Jakarta.
Aku masih ingat,
rambutmu menjuntai panjang dan matamu masih sama, masih terlihat sangar dengan
tatapan tajamnya, selepas dari itu kita saling membahas tentang patah hati masa
remaja, entah itu tentang aku yang menanti jawaban akan masalalu atau tentang
kamu yang masih terluka untuk mencoba mencintai orang baru.
Kita kala itu
hanyalah 2 manusia yang tidak mengerti tentang masa depan, kita hanya pandai
mengeluh tentang perpisahan, percintaan bahkan situasi lingkungan yang tidak
sesuai harapan. Disitu kamu bercerita tentang situasi yang tidak bahagia dan
akupun juga, bahkan aku bercerita tentang menyembuhkan luka dengan berpesta
sampai pagi tiba. Kala itu aku pikir drngan cara itu kisah yang aku jalani akan
kembali bahagia, ternyata hanya sia-sia, karena selepas kaki ini melangkah yang
aku rasakan maish sama, yaitu terbata-bata.
Kita berlanjut untuk bercerita, walaupun antar tatap muka itu
sekarang sudah tidak ada, kita masih bertukar pesan atau bercerita sampai
shubuh tiba. Kita masih terlena untuk saling berhubungan padahal kita sedang
menyimpan rasa atau bertahan agar tidak saling jatuh cinta.
Ditahun selanjutnya, Tuhan menghendaki
kita berjumpa. Sebulan lamanya untuk menghirup kemacetan Jakarta, melihat
kembali tugu Pancoran yang menadah tangan dan hotel Indonesia yang megah, kita menghirup udara yang sama dan
kita masih menyimpan kisah kita di tahun
sebelumnya.
Pada saat yang sama, denting pesan
menghampiri, kita saling mengatur janji dan menyapa diantara dua mata kita. Pertanyaanku,
“apa kabar harimu?”, demgan lugas kamu menjawab bahwa kamu sedang baik-baik
saja dengan tatapan mata yang tajam dan tawa.
Membalut kisah di Jakarta dengan mu
adalah hal paling istimewa, dengan satu motor berdua atau berjalan kaki sambil
berbicara dan menjelejahi setiap sisi Jakarta adalah pengalaman yang berharga, dan itu adalah kenangan yang nyata.
Jakarta, kota dengan seribu ingatan,
bukan hanya Kota Tua saja yang menjadi tempat sejarah, kita pun juga, tapi
kenapa sekarang situasi Jakarta sangat berbeda, entah ada rasa yang menolak
untuk singgah, entah tidak ingin membuka luka ataupun mengingat kenangan yang
masih utuh, dan semua tentang Jakarta ada pahit yang masih tersimpan utuh
dikepala.
Ruang berbeda, kita terpisah jarak dan ikatan dari cincin di jari manismu.
Kali ini, aku menulis dibawah naungan
cuaca yang terik, terlebih aku harus menulis segala kenangan yang sudah lewat
melebihi setengah dekade dari pertama kita berjumpa. Aku mengulik segala hal
tentang mu, tentang aku dan segala hal yang kita tuju.
Di keheningan pagi ini, dengan sound system dan alunan lagu Maroon 5 menemani tulisan ini dari pagi
hingga sampai di pertengahan hari, lagu-lagu terus-menerus terulang sampai membuka
pikiran untuk mengingat segala hal tentang kita dahulu.
Kini, tidak ada satupun yang aku ingat
selain semangat yang selalu kamu berikan pada saat aku terjatuh. Hanya sebutir
ingatan tapi mampu meluluhkan perasaan. Kamu mengucap pamit pada saat
dipenghujung tahun lalu, mengatakan kamu akan menikah, maka hancurlah pengharapan.
Walau kita sempat mengucap untuk
mencoba perlahan, ternyata kamu lebih breuntung untuk membiarkan perasaan yang
sempat kita coba tanamkan. Aku tidak tahu apakah kita sedang berbahagia dengan
sendiri-sendiri atau hanya sedang mencoba mati perlahan karena memilih untuk
tidak melanjutkan.
Kita memang diambang hancur kala itu,
aku mati rasa ditinggal orang yang aku anggap akan selamanya dan kamu sedang
terluka lantas lelaki yang disampingmu sedang menyakitimu dengan parah. Kita mengatur
janji, pergi ke Bali untuk menghapus ingatan sekaligus membangun kisah baru.
Kita sangat yakin untuk bersatu,
karena kala itu hati kita sedang rancu, entah harus bagaimana untuk sembuh. Mungkin
pikir kita, bersatu dari 2 orang yang sedang terluka parah adalah jawaban untuk
kesembuhan kita bersama.
Akhirnya, diskusi masa depan terjadi,
membahas tentang jika kita berdua, kamu harus tinggal di tempatku dan bukan Jakarta.
Aku ingin kamu dirumah saja tetapi kamu meminta untuk aku yang tinggal di Jakarta
dan sama-sama bekerja.
Mungkin waktu itu ke egoisan ku memicu
penolakan. Kamu tetap bulat dengan pilihan dan sedangkan aku tetap yakin itu
yang terbaik. Tapi apalah daya, aku benar tidak bersungguh-sungguh mengiyakan
segala permintaan.
Dan pada akhirnya, aku tiba di Jakarta
mengucap janji kepada diri-sendiri bahwa aku akan mencoba, tetapi sebelum
mencoba, kamu mengucap kata bahwa dipenghujung tahun kamu akan mengikat janji
dengan orang baru, kamu menegaskan bahwa pilihanmu benar-benar nyata.
Aku mati rasa, aku sempat berpikir
bahwa kita bisa mencoba. Ternyata pikiranku hanya mengada-ada, didalam doa
semoga itu orang tepat untuk situasi hidupmu kelak. Karena yang pasti, segala
pilihan pasti kamu ambil pasti yang terbaik.
Baru beberapa hari, kita merangkai
kata saling bertanya kabar dan tentang bagaimana, sedang apa, dan proses
situasimu seperti apa. Kamu menjelaskan dengan jelas, tentang kepasrahan
tentang kebahagian dan segala kesedihan.
Aku mengucap bangga dan sedih secara
bersamaan, merasa bahwa aku adalah orang yang merasakah kehilanganmu. Jelas aku
tidak akan mengusik segala hal apapun tentang itu, karena aku menghargai
pilihan mu.
Nanti, selepas kamu membaca tulisan
ini dan mengetahui apa yang aku rasakan dan aku pikirkan. Semoga ini menjadi
pemicu persahabatan kita yang kekal, kelak tidak di dunia saja, semoga sampai
di surga juga.
Dan aku akan ke Jakarta, menyapa tempat yang kamu suka, sekaligus saling bertemu seperti semula dan saling mengikhlaskan diantara kita. Jangan lupa untuk menyempatkan waktu untuk berjumpa, hanya itu pengharapanku sekarang.
tertanda
Arbani
Muhammad
Komentar
Posting Komentar